Dan hujanpun akhirnya rintik-rintik turun membasuh bumi. Mengiringi kepergian ibunda yang jasadnya lenyap ditimpa tanah-tanah basah, dan kemudian ditutupi bunga-bunga berwarna warni. Aku merasakan gelisah di dadaku. Aku kini seorang diri. Tak ada saudara dan tak ada keluarga. Seorang diri.
Perlahan, orang-orang yang ada, meninggalkan tempat pekuburan. Suasana sendiri semakin terasa. Sampai aku rasakan hanya ada Ningsih, pacarku yang berdiri setia di sampingku. Dan beberapa orang lagi. Tak banyak aku bisa bercakap dengannya. Galau di hati ini semakin terasa.
"Nara, tante turut berduka cita sedalam-dalamnya," suara itu memecahkan kesunyianku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Tante Asri, berkerudung hitam, berkacamata hitam, dengan terusan panjang, berpayung, sendirian. Aku bisa melihat raut kecantikan di wajahnya yang belum lagi berusia 35 tahun.
"Terima kasih, Tante," kataku, "Juga terima kasih atas bantuan yang Tante berikan, selama Mama masih di rumah sakit, sampai pemakaman ini."
"Ah, kamu. Tentu gak bisa bantu apa-apa. Tante hanya bisa bisa bantu seadanya." "Itu sangat berarti buat kami, Tante." "Kamu jadi dengan rencana-rencanamu, Nara ?"
Aku hanya mengangguk perlahan.
"Nara, kamu pikirkanlah lagi rencana-rencanamu itu. Kalau kamu sudah punya keputusan, temuilah Tante di rumah, kapan saja."
Sekali lagi aku mengangguk perlahan.
"Tante jalan dulu, Nara. Mari Ningsih, Tante pulang dulu."
***
Aku dan Ningsih kemudian pulang ke rumahku. Aku tidak banyak bercakap selama perjalanan. Kami berdua menyusuri jalan-jalan yang basah oleh air hujan.
Sesampai di rumah, Ninggsih membuka percakapan, "Apa yang kamu bicarakan tadi dengan tante Asri, Nara?"
"Hmmm, aku memang belum cerita dengan kamu." desahku.
"Apa ?"
"Aku berencana aku pergi. ... Kamu tahu, Mama adalah kerabatku satu-satunya, dan kini telah tiada. Aku ingin melangkahkan kaki ini menuju ke matahari terbit. Menyongsong terbitnya matahari. Membau basah tanah. Merasakan bulir-bulir basah embun di rerumputan. "
Ningsih menatapku dengan tidak yakin. "Kamu yakin dengan apa yang kamu ucapkan?"
Aku mengangguk. Ninggsih menggeleng, dan matanya sudah mulai berlinang.
"Apa yang kamu pikirkan, Nara ? Apakah semua harus terjadi menurut kepentinganmu saja ? Tidakkah kamu memikirkan, bahwa kamu masih punya aku di sisi mu?"
"Ningsih, kamu selalu di hatiku. Setiap hari aku akan kirimkan surat untukmu. Akan kutuliskan kata-kata cinta yang kudapat di perjalanan untukmu..."
Ningsih memelukku erat. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukanku. Aku bisa merasakan kegetirannya yang teramat karena kepergianku ini. Akupun merasakan pahit, bahwa aku akan berpisah dengannya, Ningsih, kembang yang sedang mekar-mekarnya, mewangi setiap hari...
Aku memeluknya erat. "Aku pun berat untuk meninggalkanmu, Sayang," bisikku "Namun, jiwaku merasa ada yang harus aku kejar. Ada pengalaman yang ingin aku rasakan, bukan hanya rutinitas kehidupan ini."
Aku mengecup dahinya. Ia menatapkan sendu.
"Aku sayang kamu, Nara..."
"Aku juga, Ningsih."
Kami berciuman. Hujan kembali turun dengan derasnya. Titik-titik airnya membasahi bumi. Membuat gelora yang yang mulai memuncak. Tanganku menyentuhi letuk keindahan tubuh Ningsih. Desahannya mulai terdengar di telingaku. Ia memelukku erat.
Kuturunkan pelan-pelan jari-jari tanganku ke depan, menyentuh pangkal buah dadanya. Terasa lembut. Tanganku meraba payudaranya. Masih kencang dan indah. Ningsih diam saja. Aku semakin berani. Jariku menekan pangkal susu itu. Ningsih masih diam, bahkan lirih kudengar napasnya memburu sementara matanya tetap terpejam. Aku nekat. Kuselipkan jari-jariku ke balik bajunya itu. Kusentuh beha yang tipis tapi terasa benar daging di dalamnya yang kenyal. Segera saja kuraih buah dada itu, kuusap dan kuremas-remas.
Lidah kami berpagutan. Saling kejar mengejar. Tanpa terasa, tanganku membuka satu demi satu kancing bajunya. Di balik kegelapan malam, aku bisa melihat bulatan kenyal di dadanya. BH putihnya kusingkapkan dengan perlahan. Dan kuciumi dengan hangat ujung payudaranya. "Akan kuberikan kenangan terindah dalam hidupmu, Ningsih. Supaya kamu tidak melupakan aku..."
Semua baju Ningsih sudah tergeletak di lantai yang dingin. Kami berdua masih berdiri berpelukan. Hangat. Seolah tiada hari esok lagi. Bajuku sedang dibukanya. Dan akhirnya kami merasakan kenikmatan itu. Sambil berdiri. Ningsih menggeliat merasakan keintiman yang ada. Aku menaikturunkan badanku. Kedua badan kami telah basah oleh peluh. Aku merasakan kejantananku dipilin-pilin di dalam kewanitaan Ningsih. Kami berdua bergerak dengan bebasnya. Menumpahkan seluruh rasa yang ada.
Nggak lama, Ninggsih bergetar hebat. "Ahhhhhhhj....." jeritnya. Lalu ia lemas sambil memelukku. Kami kemudian pindah ke atas ranjang. Ningsih telungkup di ranjang, sementara kedua kakinya di lantai. Aku berdiri di belakangnya, dan kami merhubungan badan kembali. Dari belakang. Dengan cara ini, aku merasakan kejantananku sepenuhnya masuk ke liang kenikmatannya....
"Ahh... uuuhhhhh...." desah Ningsih. Liangnya sudah basah sekali. Aku merasakan sangat nikmat. Masuk dan keluar. Aku sangat merasakan setiap gerakan yang ada. Tangan Ningsih hanya bisa memegang seprei yang mulai berantakan. Ia menggigit bibir nya sendiri. Menahan pucuk-pucuk kenikmatan yang timbul dari gerekan demi gerakan. Tubuh kami bergerak liar. Pinggul Ningsih berputar dan vaginanya terasa menjepit dan meremas kemaluanku. Tak terkatakan nikmatnya.
"Hmmmm...nikmat sekali Ningsihhhh......uuuuhhhhhh..."
"Nara..aku mau keluar nih.sama-sama yaaaaa...ssssshhhhhhh..."
Kami bergoyang semakin cepat dan semakin cepat..sampai akhirnya kami berdua berteriak sama-sama ketika air maniku muncrat banyak sekali di dalam liang vagina Ningsih yang juga mencapai orgasmenya...
Kami kemudian berpelukan erat. Hujan masih turun dengan derasnya. Biarlah hujan membasahi bumi ini.